Selamat Membaca dan Nikmatilah

Selamat Membaca dan Nikmatilah

Rabu, 05 Januari 2011

Kaba Sutan Pangaduan

Kaba Sutan Pangaduan disebut juga Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan, merupakan salah satu dari 4 Kaba Tareh yang tergolong Tareh Runuik. Tareh Runuik merupakan tareh lanjutan yang lebih rinci, dibandingkan dengan Tareh Kudian, karena itu Tareh Runuik kemudian berkembang demikian luasnya dalam berbagai variasi kaba menjadi “cerita sejarah” yang sudah melegenda sampai saat ini. Yang disebut Tareh Runuik adalah:
1. Kaba Cindua Mato
2. Kaba Bongsu Pinang Sibaribuik
3. Kaba Anggun Nan Tongga
4. Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan (Kaba Sutan Pangaduan)
Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan versi Minangkabau yang pada zamannya sangat populer di Pariaman dan Pesisir Selatan, tidak lagi banyak yang mengenalnya, demikian juga para Tukang Rabab tidak lagi menguasai jalan ceritanya, kecuali ada pada kalangan peminat dan peneliti tertentu saja. Seperti budayawan Chairul Harun (alm) pernah membukukannya, tetapi tidak lengkap, dan Syamsuddin Udin “Kaba Gombang Patuanan : Tradisi Lisan Minangkabau, 1991.
Tokoh-tokoh Utama
• Sutan Pangaduan, titik sentral cerita, seorang anak raja yang ibunya ditawan
• Sutan Lembak Tuah, saudara satu ayah Sutan Pangaduan, berlainan ibu
• Puti Sari Makah, saudara satu ayah Sutan Pangaduan, ibunya keturunan Arab
• Rajo Unggeh Layang, raja yang menculik ibu Sutan Pangaduan
• Puti Andam Dewi, ibunda Sutan Pangaduan yang dalam tawanan
Jalan Cerita
Kampung Dalam sepeninggal Raja
Sutan Pangaduan adalah seorang Putra Mahkota dari Raja yang berkuasa di Kampung Dalam, Pariaman. Dia memiliki 2 saudara tiri lain ibu yaitu Sutan Lembak Tuah yang ibunya seorang rakyat biasa dan Puti Sari Makah yang ibunya adalah seorang keturunan Arab. Ibunda Sutan Pangaduan sendiri adalah seorang bangsawan yang bernama Puti Andam Dewi.
Sutan Lembak Tuah lebih tua daripada Sutan Pangaduan, namun dalam hal ilmu kebatinan, kesaktian dan kebijaksanaan, Sutan Pangaduan jauh lebih unggul.
Ketika Sutan Pangaduan masih kecil, ayahnya pergi bersemayam ke Gunung Ledang. Pada saat itu ibundanya Puti Andam Dewi diculik dan ditawan oleh Rajo Unggeh Layang di sebuah bukit. Puti Andam Dewi ditawan karena menolak diperistri oleh Rajo Unggeh Layang. Rajo Unggeh Layang sendiri berkuasa di negeri Taluak Singalai Tabang Papan. Sejak saat itu, Sutan Pangaduan dipelihara dan dibesarkan oleh nenek dan kakak sepupunya (dari pihak ibu) yang seorang pendekar di Kuala Pantai Cermin.
Sutan Lembak Tuah sendiri tetap tinggal di istana dan diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya, karena usianya paling tua diantara dua anak laki-laki. Sutan Lembak Tuah menjadi raja sejak usia muda. Secara adat, Sutan Pangaduan adalah putra mahkota yang sah, karena silsilah bangsawan dan orang terpandang lagi keramat yang dibawanya dari garis ibu, namun ibunda dari Sutan Lembak Tuah yang berhati jahat sangat berambisi untuk menjadikan anaknya sebagai raja. Ia rela menghalalkan segala macam cara agar tujuannya tercapai. Ambisi ini sangat dimaklumi karena ibu Sutan Lembak Tuah pada awalnya hanyalah orang kelas bawah yang nasibnya terangkat karena menikah dengan seorang raja.
Sutan Lembak Tuah cenderung manja dan kekanak-kanakan, sehingga ketika diangkat sebagai raja, ia menjelma menjadi raja yang semena-mena terhadap rakyatnya. Namun di kemudian hari ia dapat berubah menjadi raja yang bijak berkat nasehat dan bimbingan dari Sutan Pangaduan dan keluarga ayahnya.
Saat berusia 10 tahun Sutan Pangaduan didatangi ayahnya yang bersemayam di Gunung Ledang secara batin. Ayahnya menugaskan Sutan Pangaduan untuk membebaskan ibunya dari tawanan dengan bantuan kakaknya Sutan Lembak Tuah yang tinggal di istana.
Sebelum berangkat ayahnya berpesan supaya Sutan Pangaduan tidak lupa menambah ilmu terlebih dahulu dari neneknya dari pihak ayah dan kemenakan perempuan ayahnya supaya dibekali dengan senjata keramat.
Kena Tipu
Dalam perjalanan dari Kuala Pantai Cermin ke Kampung Dalam, Sutan Pangaduan yang lugu diperdaya oleh seorang penipu. Gara-garanya sangat sederhana, Sutan Pangaduan tertangkap tangan sedang memetik setangkai kembang oleh sang penipu. Penipu itu membual bahwa kembang yang dipetik oleh Sutan Pangaduan adalah Kembang Bunga Larangan dan sebagai hukumannya ia didenda untuk menyerahkan baju bangsawan yang dipakainya. Penipu itu menggantinya dengan baju compang camping yang robek disana sini.
Sesampainya di Istana Kampung Dalam, Sutan Lembak Tuah sangat terkejut ketika melihat anak kecil berbaju compang camping yang wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan dirinya. Namun ibu Sutan Lembak Tuah yang berhati jahat merasa malu lalu menyuruh pengawal mengusir bahkan membunuh Sutan Pangaduan, padahal dia sebenarnya tahu bahwa yang datang adalah putra mahkota sebenarnya.
Ibu Sutan Lembak Tuah memerintahkan anaknya untuk berkelahi dengan Sutan Pangaduan, namun dalam perkelahian itu Sutan Lembak Tuah dapat dikalahkan. Pada saat itulah Sutan Pangaduan mengucapkan kata kunci yang membuktikan bahwa ia adalah saudara tiri dari Sutan Lembak Tuah. Hanya Sutan Lembak Tuah yang mengerti kata kunci tersebut karena ia sebelumnya juga didatangi sang ayah secara batin. Sutan Lembak Tuah memohon kepada ibunya agar Sutan Pangaduan diperbolehkan tinggal dalam istana.
Membebaskan Ibunda dari tawanan
Sutan Pangaduan lalu mengutarakan maksudnya bahwa dia mendapat tugas dari ayahnya untuk membebaskan sang ibunda, Puti Andam Dewi. Tentu saja ibu Sutan Lembak Tuah tidak setuju dengan rencana itu karena jelas akan menghalangi rencana-rencananya selama ini. Namun Sutan Lembak Tuah berhasil melunakkan hati ibunya dengan alasan bahwa dia juga mendapatkan wangsit yang sama dari sang ayah yang bersemayam di Gunung Ledang.
Dengan berat hati ibunda Sutan Lembak Tuah melepaskan kepergian anaknya beserta Sutan Pangaduan untuk membebaskan Puti Andam Dewi dari tawanan Rajo Unggeh Layang. Namun dibalik itu ia masih menyimpan satu rencana jahat yang terakhir.
Pada acara pelepasan secara resmi, ia berniat untuk meracun Sutan Pangaduan. Sebelum berangkat, kedua pangeran dihidangkan nasi terlebih dahulu bersama para pengiring. Nasi untuk Sutan Pangaduan telah ditaburi dengan racun. Sutan Pangaduan yang telah mendapatkan hikmah malah mengajak para hadirin untuk berbincang-bincang sampai nasi menjadi dingin. Karena nasi telah dingin, Sutan Pangaduan menolak untuk memakannya dan menyuruh pelayan untuk memberikan nasi itu kepada hewan peliharaan istana. Hewan itu langsung mati selesai menyantap nasi itu. Singkat kata, niat jahat ibunda Sutan Lembak Tuah pun terbongkar dan ia dihukum kurungan di istana. Sutan Pangaduan dan Sutan Lembak Tuah akhirnya dapat pergi menunaikan tugasnya tanpa ada yang menghalangi lagi.
Sesampainya di bukit tempat Puti Andam Dewi ditawan, kedua pangeran terlibat perkelahian dengan ribuan penjaga bukit itu. Tatkala hampir berhasil membebaskan ibundanya, Sutan Pangaduan kehilangan konsentrasi karena kakaknya Sutan Lembak Tuah ambruk ditangan musuh. Akibatnya kedua kakak beradik ini berhasil diringkus oleh musuh.
Bantuan dari Puti Sari Makah
Melihat keadaan yang diluar perkiraan, ayah Sutan Pangaduan mendatangi anak perempuannya Puti Sari Makah secara batin. Ia memerintahkan anak perempuannya itu untuk membebaskan istrinya Puti Andam Dewi dan kedua anak laki-lakinya yang sekarang jadi tawanan pula. Dalam penugasan itu Puti Sari Makah dibantu oleh kemenakan sang ayah (kakak sepupu Sutan Pangaduan dan Sutan Lembak Tuah) dan kemenakan Puti Andam Dewi (kakak sepupu Sutan Pangaduan).
Ketiga perempuan ini pada saat itu telah menjadi pendekar-pendekar yang tangguh. Putri Sari Makah memiliki kemampuan ilmu batin untuk mengendalikan air sedangkan kedua sepupu Sutan Pangaduan masing-masing memiliki kemampuan untuk mengendalikan angin dan suara.
Dengan keahlian itu mereka menciptakan badai yang menaikkan air laut sampai ke atas bukit sehingga banyak pihak musuh yang mati. Badai itu hanya menyisakan tempat keluarga mereka ditahan, sehingga dengan mudah mereka dapat membebaskan ketiga tawanan.
Sayang sekali saat akan dibebaskan, Sutan Pangaduan kena hipnotis oleh seorang gadis kecil yang sebenarnya adalah adik Rajo Unggeh Layang yang menyamar. Gadis kecil itu minta dikasihani dan minta dibawa ikut serta karena takut hanyut dibawa badai. Seluruh kakak Sutan Pangaduan telah berusaha melarang niatnya untuk membawa serta gadis kecil itu, namun Sutan Pangaduan keras kepala dan tidak mendengarkan. Pada saatnya nanti gadis kecil ini akan menuntut balas.
Setelah Ibu Sutan pangaduan dibebaskan, mereka kembali ka daerah masing-masing. Ibu Sutan Pangaduan, Sutan Pangaduan dan kakak sepupunyo pulang ke Kampung Dalam. Puti Sari Makah kembali ke Makkah dengan hati risau karena tahu Sutan Pangaduan telah keliru menyelamatkan musuh. Sutan Lembak Tuah kembali ke kerajaannya dan berubah menjadi raja yang lebih dewasa dan bijaksana. Kemenakan ayah mereka juga pulang ke negeri masing-masing.
Tipu Muslihat Gadis Penyamar
Ketika Sutan Pagaduan beranjak dewasa ia menikah dengan anak gadis dari raja negeri tetangga. Ia pun dijadikan raja di negeri tersebut. Pada saat itu ibunda Sutan Pangaduan kembali diculik atas tipu muslihat gadis kecil yang kemarin diselamatkan dari badai di puncak bukit oleh Sutan Pangaduan. Sutan Pangaduan sangat menyesal karena tidak mendengarkan peringatan yang telah disampaikan oleh kakak-kakaknya, namun sesal sudah terlambat dan tidak berguna lagi. Apalagi selama ini ternyata gadis kecil itu telah meracun Sutan Pangaduan sedikit demi sedikit sehingga kesaktiannya agak berkurang.
Sutan Pangaduan terjebak dalam konflik batin antara ingin menyelamatkan ibu kandungnya yang kembali ditawan dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil muda. Ia juga gundah karena harus meninggalkan kerajaan dan rakyatnya. Namun istrinya bersedia mengalah dan memberikan dukungan untuk menyelamatkan ibu mertuanya. Sang Permaisuri berkata, “tidak usah cemaskan anak yang akan lahir ini karena setiap anak punya takdir masing-masing.”
Singkat kata akhirnya Sutan Pangaduan kembali berusaha membebaskan ibundanya. Sutan Lembak Tuah ikut serta pula karena ia bersikeras untuk membantu adiknya. Seperti yang telah diduga Sutan Pangaduan dapat dilumpuhkan dengan mudah karena kesaktiannya telah jauh berkurang. Akhirnya kedua raja itu (Sutan Pangaduan dan Sutan Lembak Tuah) kembali ditawan dan dirantai oleh musuh.
Pada suatu malam yang terang benderang oleh purnama dan pada waktu yang telah diperhitungkan, Sutan Pangaduan menghentakkan kakinya ke bumi sehingga timbul suara menggelegar bagaikan petir di daerah sekitarnya. Tapi goncangan itu belum cukup untuk memutuskan rantai yang mengikat kaki Sutan Pangaduam. Goncangan itu baru pertanda bahawa anaknya telah lahir ke dunia.

Kaba Gadih Basanai

Kaba Gadih Basanai adalah kaba yang berasal dari Pesisir Selatan dengan setting cerita di daerah Salido. Salido adalah sebuah pantai yang indah di Bandar Sepuluh, pesisir barat Sumatera. Berikut jalan cerita selengkapnya:
Jalan Cerita
Semenjak ibunya mati, tinggallah Gadih Basanai seorang diri di rumah yang besar. Tiada seorangpun mendekat-dekat ke situ yang dapat jadi kawannya dan menghilangkan kesunyian. Apa lagi dia terhitung orang berbangsa, takut orang biasa akan mendekati dia.
Sebab itu iapun dibawa pindah oleh mamaknya ke rumah isterinya di Salido. Di sanalah dia tinggal dengan mentuanya (isteri mamaknya itu) yang berbudi. Anaknya ada pula seorang lelaki, bernama Syamsudin. Kerana itu anaknya yang seorang telah jadi berdua.
Kian tahun kian besarlah Basanai, menjadi semangat rumah yang besar, permainan mata mamak dan mentua; cantik lagi jelita. Menurut adat kampong, bilamana bunga telah mulai kembang, mendekatlah kumbang hendak menyeri manisannya.
Demi setelah cukup usianya 16 tahun bertimpa cerana datang, pinangan anak sutan-sutan, orang berbangsa dalam negeri, meminta supaya Basanai suka dijadikan teman hidup. Tetapi mamaknya belum hendak menerima “kata orang,” sebab belum ada yang dapat dipandang duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan Basanai. Enam kali cerana datang, enam orang bujang berganti, semuanya tertolak saja. Jarang sutan akan jodohnya, jarang puteri akan tandingnya.
Tetapi lain daripada segala permintaan orang lain, ada seorang yang telah menanamkan cinta di dalam hatinya terhadap Basanai, cinta yang membukakan pengharapan di zaman yang akan datang. Cinta yang selalu tidak memperbezakan darjat. Orang itu ialah Syamsudin sendiri. Adapun Basanai tidaklah tahu bahawa saudara sepupunya itu menaruh cinta kepada dia, lain dari cinta saudara lelaki kepada saudara perempuan, kerana sejak dari kecil mereka makan sepinggan, minum semangkuk, sama di bawah naungan langit hijau, sama mandi di sebuah pancuran.
Bilamana perasaan cinta telah bersemai, tidaklah ada makhluk yang sanggup menghalanginya, sebab cinta ialah perasaan hati yang merdeka dan bebas. Sebab itu bercintalah Syamsudin sendirinya, tidak seorang pun manusia yang tahu, dan dia pun tidak berniat hendak memberitau kepada orang lain, hatta kepada ibu dan bapanya. Kerana menurut adat yang lazim di Minangkabau pada masa itu, bangsa ayah tidaklah sama dengan anak. Hanya bangsa mamak yang sama dengan bangsa kemamakkan. Sisa-sisa adat lama itupun masih ada sampai sekarang. Jadi adalah Basanai sebangsa dengan ayah Syamsudin, dan Syamsudin sebangsa dengan ibunya sendiri. Ayahnya orang jemputan, ibunya orang di bawah, “diukur tegak sama tinggi, tapi tentang bangsa dia kurang”
Pada suatu hari, sedang Syamsudin mandi seorang dirinya di pancuran, bertemulah olehnya segulung rambut yang hitam berkilat dan panjang. Dia tahu benar bahawa rambut itu rambut Basanai, sebab rambut ibunya tidak sepanjang itu. Dan orang lain tidak ada yang mandi ke situ. Dia tahu pula, jika sekiranya dia hendak meminta sesuatu tanda mata kepada Basanai, tidaklah akan diberinya. Sebab itu dipadankannya saja rambut itu akan dijadikan tangkal azimat, dijadikan ubat jerih pelerai demam. Rambut itu digulungnya baik-baik, dimasukkannya ke dalam puan ibunya; setelah itu dibungkusnya dengan kain putih sedester. Bilamana tengah malam dan bulan terang benderang, kerapkali dia berdiri ke tepi pantai, melihat ombak memecah di karang dan angin laut berhembus, maka dikeluarkannyalah puan itu dari sakunya, lalu dipantunnya:
Anak gagak di lesung cina
Makan berulang ke perahu
Hati hendak bagaikan gila
Tapi mengata tidak tahu
Maka tibalah musim orang ke Pagai mencari rotan dan damar. Biasanya bilamana rotan telah terkumpul, dibawalah ke pulau Cingkok, sebab di sana banyak berlabuh kapal dagang orang Feringgi (Portugis), Inggeris dan Belanda, hendak membeli barang hutan. Biasanya orang Salido belayar ke Pagai bersama-sama, selama-lamanya 3 bulan. Jika angin selesai, barulah mereka pulang.
Syamsudin dengan ayahnya pun hendak pergi pula ke Pagai, sebagaimana kebiasaan tiap-tiap tahun. Sebelum berangkat, disiapkan dahulu segala yang perlu, dijahit layar mana yang robek, ditukar mana yang usang, biduk ditampal mana yang tiris. Setelah tiba hari yang ditentukan, pergilah Basanai dengan mentuanya ke tepi pantai, hendak melepas mereka berlayar. Di atas pasir yang luas itu, di pinggir pantai lautan yang tidak kelihatan tepinya, di ombak yang bergulung-gulung di riak memukul kaki, di bawah naung langit hijau, di sanalah Basanai dan mentuanya menangis melepas orang akan belayar.
Setelah ayahnya naik ke biduk, Syamsudin pergi menjabat tangan ibunya, Basanai terpisah tegak agak jauh sehingga percakapan orang berdua itu tiada terdengar olehnya, apalagi kerana gelombang memecah di pasir dan angin berhembus di pantai amat keras. Syamsudin berkata:”Ibuku, belum tentu anakanda akan kembali pulang, manalah dapat ditentukan gerak Allah. Kalau untung baik, selamat anakanda pulang pergi. Kalau gerak takdir telah tersurat, entah hilang anakanda di laut lepas, entah di lamun ombak tujuh, gerak Allah siapa tahu? Hanya sedikit anakanda meninggalkan pesan, pegang petaruh erat-erat. Di atas kepala pintu yang menghadap ke laut ada anakanda letakkan sebuah puan perak berbungkus dengan kain putih; di dekat itu ada pula sebuah cermin. Tiada seorang pun boleh memegang dan mengambil barang itu, tentu akan terlanggar pantang. Kelak jika nama anakanda saja yang pulang barulah boleh ibu mengambil kedua-dua barang itu”
“Baiklah,” jawab ibunya: “Petaruhmu akan bonda pegang erat-erat. Selamatlah anak belayar.”
Dikerlingnya Basanai dengan sudut matanya yang muram, seraya katanya: “Selamat tinggal, Basanai.”
Sebelum Basanai sempat menjawab, dia telah melompat ke atas biduknya. Ayahnya telah menunggu dia di sana. Layar pun dikembangkannya dan sauh dibongkarnya.
Tiada berapa lama antaranya biduk itupun beroleh angin yang selesa. Setelah sebesar kumbang kelihatannya di lautan, barulah Basanai dan mentuanya pulang ke rumahnya.
Sebulan telah menjadi dua bulan, hampir tiga bulan penuh! Khabar berita dari Pagai belum datang. Pada suatu hari, sedang Basanai membersihkan jaring labah-labah, sampailah hujung sapunya kepada pintu tempat puan dan cermin itu diletakkan Syamsudin.
“Barang apakah itu, mentua?” tanyanya kepada mentuanya.
“Wahai, Gadih! Itulah barang simpanan Syamsudin, agaknya azimat dan tangkal. Dia berpetaruh benar melarang orang menyentuh kedua barang itu. Dia sendirilah seorang kelak jika telah kembali yang akan mengambilnya. Jika namanya saja yang pulang, barulah ibu akan mengambilnya.”
“Barang apalah agaknya,” kata Basanai dalam hatinya dan pekerjaannya pun diteruskannya pula.
Tiap-tiap membersihkan rumah, sampai juga hujung sapunya kepada barang yang terlarang itu. Akhirnya timbullah keinginan hendak tahu, kerana demikianlah tabiat manusia. Yang paling diingininya ialah barang yang terlarang.
Pada suatu hari, sedang mentuanya membawa perian dan labu ke pancuran, menjemput air minum, Basanai meningkat gerangan isi bungkusan itu dan apakah cermin itu. Sebentar saja sampailah tangannya ke sana dan dibawanyalah kedua barang itu turun bagai menatang minyak penuh. Bungkusan itu dibukanya, dadanya berdebar-debar. Setelah itu dibukanya pula puan perak itu. Isinya segumpal rambut yang hitam panjang. Bertambah debar-debar hatinya, kerana rambut itu rambutnya sendiri. Diperhatikannya rambut itu baik-baik. Gementar sendi tulangnya, merah padam warna mukanya. Apakah gunanya rambutnya itu disimpan oleh Syamsudin?
Seakan-akan ada suara ghaib berbisik di telinganya membisikkan suatu perasaan yang belum pernah dirasainya selama hidupnya, dan perasaan itupun mengalir ke seluruh batang tubuhnya dan urat darahnya. Tawar dan dingin rasanya!
Diambilnya pula cermin itu, dilihatnya mukanya di sana, muka yang cantik lagi jelita, buah tutur anak sutan-sutan yang berenam. Tetapi hairan…. Bukan mukanya yang kelihatan, hanya muka orang lain! Mula-mula samar, kemudian nyata, muka Syamsudin!
Darahnya tersirap!
Tengah ia termenung dan hairan melihat cermin itu, mentuanya datang. Dia terkejut melihat perbuatan Basanai, hampir terhempas perian yang sedang dipikulnya.
“Celaka! Mengapa engkau langgar larang dan pantangan? Kalau tidak mengandung bahaya, tentu tidak akan dilarang oleh si Syamsudin menjamah benda itu, ketika dia akan belayar. Letakkan lekas, kembalikan ke tempatnya celaka engkau nanti”
“Celaka tanganku yang gatal ini, mentua, hati pun tak dapat aku tahan, dia hendak tahu juga. Jika kak Asam pulang mintakan Basanai ampun kepadanya. Tetapi mentua!…. Mengapa rupa dan wajah kak Asam yang kelihatan dalam kaca ini? Salahkah pemandanganku?
Tidak, mentua, bukan hamba salah lihat. Nyata wajah kak Asam di dalamnya! Lihatlah!
Segera mentuanya datang melihat kaca itu. Dia tersenyum sebab yang kelihatan di sana bukan wajah Syamsudin, melainkan wajahnya sendiri, sebagaimana biasa segala kaca di dunia ini. “Bukan, bukan Syamsudin yang kelihatan di dalamnya, nak!
Syamsudin sekarang jauh di Pagai. Hal itulah hanya bayang-bayang angan-angan belaka.
Kaca itu dilihat sekali lagi oleh Basanai, rupa Syamsudin tidak kelihatan lagi, hanya wajahnya sendiri pula! Rupanya perasaan jantung yang tengah bergelora telah padam, telah sedar kembali. “Rupanya hamba salah lihat,” katanya sambil tersenyum tetapi mukanya agak pucat.
“Bukan sudah bonda katakan? Engkau terlanggar pantangan. Jangan barang itu Basanai dekati, kata bonda, engkau dekati juga, sekarang begini yang bertemu…”
“Ohh mentua, mintakanlah hamba ampun jika kak Asam pulang, mohonkan hamba maaf kepadanya. Hamba akui kesalahan hamba, digantung hamba tinggi, dibuang hamba jauh, apa putusan kak Asam hamba ikut, untuk menebus dosa hamba.”
Sedang duduk berdua menganyam tikar
“Sedang mengapa agaknya orang di Pagai, mentua? Khabar beritanya tidak juga sampai.”
“Agaknya sedang mengumpulkan rotan. Setelah penuh biduk, barulah dibawa ke pulau Cingkuk. Setelah itu jika bertiup angin selatan, biduk akan menuju pulang.”
Sedang menjemur di halaman
“Mentua, sudah hamba hitung-hitungkan hari, sudah hamba bilang-bilangkan pekan…
Khabar dari Pagai tidak juga datang
Nun, tengoklah di tepi pantai, mentua
Biduk orang lain telah berlabuh dua tiga
Biduk dari Pagai belum juga pulang
“Basanai, tiris agaknya biduk kita; mencari damar penyumbat yang tiris itu mamak dan saudaramu dahulu. Agaknya layar cabik dihembus angin barat, memintal benang mereka dahulu penjahit yang cabik itu”
“O mentua, tak tertanggung, tak tertahan,
Malam haram mataku tidur,
Siang haram dudukku senang,
Ingatan kepada orang di Pagai saja”
“Basanai, Basanai! Dahulukan sudah bonda katakana jua, anak sudah melampaui pantangan,
anak sudah melanggar larangan.”
Basanai jatuh sakit
“Kian lama kian lemah sekujur tubuhku, mentua! Biarkanlah hamba duduk dekat pintu yang menghadap ke laut,
Supaya dapat segera hamba lihat,
Agaknya telah dekat biduk orang Pagai akan pulang,
Apakah yang kelihatan putih di hujung laut itu, mentua?
Bukankah layar biduk orang dari Pagai?”
“Bukan, Gadih, bukan! Yang kelihatan putih dari jauh itu ialah ombak yang sedang memecah di atas karang. Dan itu, yang di sebelah selatan itu ialah burung belang laut, berkejar-kejaran mencari makanan, putih sayapnya kena cahaya matahari.”
“Itu? Yang kelihatan antara ada dengan tiada, bukankah biduk orang dari Pagai itu dihayun ombak dan gelombang?”
“Belum, Gadih! Hanya biduk nelayan, yang belayar di tepi-tepi saja, ke tengah takut digelombang.”
“Bilakah biduk dari Pagai akan berlabuh…. Oh mentua?”
Sakit Basanai bertambah larut
“Sudah berasap penglihatanku, mentua!”
“Tak nyata lagi olehku ombak yang memecah di karang, hanya deru angin yang kedengaran di telingaku, belum jugakah biduk dari Pagai akan berlabuh…?”
“Lautan hijau, ku lihat laksana rumput gatil-gatilan.”
“Mentua, sudah lemah sendi tulangku, goyah segala anggotaku!”
“Alangkah sakitnya nyawa akan bercerai dengan badan. Agaknya orang dari Pagai takkan melihat badan hamba ketanahkan.”
“Jika Gadih Basanai mati muda, mentua, panggil tunangan, keenamnya, berdua suruh merobek kafan, berdua menggali kubur, berdua menyembahyangkan; memandikan mayatku oleh mentua sendiri. Kuburkan mayatku di atas puncak gunung ledang, di bawah naungan pohon delima dua sederet, di dekat kemuning hijau. Tegakkan di atas kuburku bendera berjurai dua, sejurai hadapkan ke rumah marhum ibuku, sejurai hadapkan ke laut, supaya tampak oleh biduk orang dari Pagai.”
“Oh Gadih Basanai! Semolek secantik ini, segombang semuda ini engkau, dunia akan engkau tinggalkan?”
“Dan jika orang dari Pagai pulang, suruh ziarah dia ke kuburku; badan hamba yang halus tak kuasa lagi menunggu dia sampai pulang, hamba tunggu dia di puncak gunung ledang…
Sekarang, hadapkanlah mukaku ke laut lepas, ke jihat Pagai, supaya senang jiwaku meninggalkan dunia dan damai semangatku meningkat langit….” Dengan tangis tersedu-sedu mentuanya meninggikan bantalnya. Basanai pun melihat tenang-tenang ke laut, ke jihat Pagai. Waktu itulah sampai janjiNya.
Syamsudin pulang
“Apa sebabnya merah tanah di puncak gunung ledang, ayah?
Adakah ayah lihat bendera dua jurai, di bawah naungan delima dua sederet, di dekat kemuning hijau?
Kubur siapakah itu agaknya?”
“Entahlah anak, hati ayah pun berdebar-debar pula.”
Biduk berlabuh, ibunya menunggu seorang diri di tepi pantai.
“Mana Basanai, ibuku?” Tanya Syamsudin.
“O anak, Basanai tidak ada lagi, dia telah dahulu dari kita. Lihatlah puncak gunung ledang, masih basah tanah menalakin, telah tertegak nesan dua buah.”
Tertegun Syamsudin tegak, airmatanya jatuh dua jatuh tiga, bagai manik putus pengarang. Ayah bondanya menangis pula kerana tangisnya itu.
“Tidakkah Basanai meninggalkan pesan, tidakkah dia tertinggal kata? O ibuku, dia tahu…”
“Wahai, anak! Sebab dia telah tahu bahawa engkau cinta kepadanyalah maka dia sampai begitu. Larang pantangan dilanggarnya, sampai dibukanya bungkusan pantangan; dalam bungkusan itu bertemu olehnya tanda-tanda yang menunjukkan cinta engkau kepadanya. Sejak itu hatinya tak senang lagi, dia hendak bertemu juga, hendak menyampaikan kepada engkau bahawa dia pun cinta kepadamu. Petaruhnya ada sebuah, iaitu tidak sanggup lagi dia menunggu engkau di dunia; sebab itu ditungunya engkau di akhirat. Disuruhnya engkau ziarah ke kuburnya, tubuhnya yang halus menunggu kedatangan engkau di sana.”
Petang khamis malam jumaat pergilah Syamsudin ke atas puncak gunung ledang, membawa perasapan, dengan lidi kelapa hijau 7 helai dan air dari 7 muara. Sesampai di kubur Gadih itu, dikelilingi kubur itu 7 kali dengan perasapan; kemudian disiramnya dengan air 7 muara, dipukulnya dengan lidi kelapa hijau 7 helai, kerana demikian petua dukun. Setelah itu iapun bernyanyi memanggil arwah orang yang telah mati.
Diserunya orang yang telah dalam kubur, orang kubur menyeru pula kepada orang dunia. Maka menanglah seruan ghaib, kalah seruan dalam lahir. Di atas kubur itulah, di bawah cahaya bulan purnama, di dalam deru angin malam, Syamsudin menghembuskan nafasnya yang penghabisan…
~Sampai sekarang bilamana tukang rebab atau biola melagukan nyanyian “Gadih Basanai.” Orang-orang yang mendengar tenggelam dalam harus kegahiban. Seakan-akan lagu itu adalah lagunya dewa-dewa

Kaba Cindua Mato

Kaba Cindua Mato adalah cerita rakyat, berbentuk kaba, dari Minangkabau. Kaba ini mengisahkan petualangan tokoh utamanya, Cindua Mato, dalam membela kebenaran. Kaba Cindua Mato menggambarkan keadaan ideal Kerajaan Pagaruyung menurut
Berbagai edisi
Edisi cetak tertua kaba ini adalah yang dicatat oleh van der Toorn, Tjindur Mato, Minangkabausch-Maleische Legende. Edisi ini hanya memuat sepertiga saja dari manuskrip asli yang tebalnya 500 halaman. Pada 1904 Datuk Garang menerbitkan edisi lengkap kaba ini di Semenanjung Malaya, dalam aksara Jawi. Edisi ini mirip dengan versi van der Toorn.
Edisi Datuk Garang didasarkan pada manuskrip milik keluarga seorang Tuanku Laras di daerah Minangkabau timur.
Tokoh-tokoh utama
• Bundo Kanduang adalah ratu asli, yang diciptakan bersamaan dengan alam ini. Ia merupakan ibu dari Raja Alam, Dang Tuanku, yang dilahirkannya setelah ia meminum air kelapa gading.
• Dang Tuanku adalah Raja Pagaruyung, putra Bundo Kanduang. Dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, sepupunya, anak dari pamannya Rajo Mudo, yang berkuasa di Sikalawi.
• Cindua Mato seperti Dang Tuanku terlahir setelah ibunya, Kembang Bendahari, meminum air kelapa gading. Karena itu dia juga dapat dipandang sebagai saudara Dang Tuanku.
• Imbang Jayo adalah raja Sungai Ngiang, rantau Minangkabau sebelah Timur. Dia berusaha merebut Puti Bungsu, yang sudah ditunangkan dengan Dang Tuanku, dengan menyebarkan desas-desus bahwa raja Pagaruyung tersebut menderita penyakit.
• Tiang Bungkuak adalah ayah Imbang Jayo yang sakti dan kebal. Namun pada akhirnya Cindua Mato menemukan kelemahannya.
Ringkasan
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Cina dan Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku, dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab, untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya berangkat ke Sungai Tarab.
Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang. Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.
Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu, di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit. Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung. Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.
Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor kerbau sakti, sebagai mas kawin untuk Puti Bungsu.
Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak. Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang, ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya, tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.
Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkawinan yang hendak dilangsungkan.
Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung, karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkawinan yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu. Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.
Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.
Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang, yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab. Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut, sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada Dang Tuanku, Raja Alam.
Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang, yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya. Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar malu.
Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian membahas perkawinan antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkawinan kerajaan tersebut dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.
Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura, negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang Jayo memerangi Pagaruyung.
Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut, dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan. Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.
Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo, ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak. Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.
Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini. Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai Raja Muda.
Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.
Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya. Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya. Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris curiannya.
Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu, Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh anak perempuan dan laki-laki yang diberi nama Sutan Lembang Alam.
Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari perkawinannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang Alam.

Selasa, 04 Januari 2011

Kaba Anggun Nan Tongga

Kaba Anggun Nan Tongga adalah sebuah cerita atau kaba yang populer di lingkungan masyarakat Minangkabau. Di daerah-daerah berbahasa Melayu cerita ini dikenal dengan nama Hikayat Anggun Cik Tunggal.
Kaba ini bercerita tentang petualangan dan kisah cinta antara Anggun Nan Tongga dan kekasihnya Gondan Gondoriah. Anggun Nan Tongga berlayar meninggalkan kampung halamannya di Kampung Dalam, Pariaman. Ia hendak mencari tiga orang pamannya yang lama tidak kembali dari merantau. Sewaktu hendak berangkat Gondan Gondoriah meminta agar Nan Tongga membawa pulang 120 buah benda dan hewan langka dan ajaib.
Meskipun pada awalnya dikisahkan secara lisan beberapa versi kaba ini sudah dicatat dan dibukukan. Salah satunya yang digubah Ambas Mahkota, diterbitkan pertama kali tahun 1960 di Bukittinggi.
[sunting] Ringkasan cerita
Di jorong Kampung Dalam, Pariaman hiduplah seorang pemuda bernama Anggun Nan Tongga, yang juga dipanggil Magek Jabang dan bergelar Magek Durahman. Ibunya Ganto Sani wafat tak lama setelah melahirkan Nan Tongga, sedangkan ayahnya pergi bertarak ke Gunung Ledang.Ia diasuh saudara perempuan ibunya yang bernama Suto Suri. Sejak kecil Nan Tongga sudah dijodohkan dengan Putri Gondan Gondoriah, anak mamaknya. Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi pemuda tampan dan cerdas. Ia mahir berkuda, silat, dan pandai mengaji Quran serta dalam ilmu agamanya.
Pada suatu hari terdengar kabar bahwa di Sungai Garinggiang Nangkodoh Baha membuka gelanggang untuk mencari suami bagi adiknya, Intan Korong. Nan Tongga minta izin pada Mandeh Suto Suri untuk ikut serta. Pada awalnya Mandeh Suto Suri tidak setuju, karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. namun akhirnya ia mengalah.
Di gelanggang Nan Tongga berhasil mengalahkan Nangkodo Baha pada tiap permainan: menyabung ayam, menembak maupun catur. Berang dan malu karena kekalahannya Nangkodoh Baha mengejek Nan Tongga karena membiarkan ketiga mamaknya ditawan bajak laut di pulau Binuang Sati. Mendengar kabar ini Nan Tongga pulang dengan hati sedih.
Nan Tongga bertekad untuk merantau mencari mamak-mamaknya: Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intan. Sebelum pergi ia minta izin pada Mandeh Suto Suri dan tunangannya Puti Gondan Gondoriah. Gondoriah meminta Nan Tongga membawakannya benda-benda dan hewan-hewan langka sebanyak 120 buah. Beberapa di antaranya adalah seekor burung nuri yang bisa berbicara, beruk yang pandai bermain kecapi, kain cindai yang 'tak basah oleh air, berjambul suto kuning, dikembang selebar alam, dilipat sebesar kuku, disimpan dalam telur burung'.
Nan Tongga berangkat berlayar dengan kapal bernama Dandang Panjang, ditemani pembantu setianya Bujang Salamat. Nakhodanya bernama Malin Cik Ameh. Setelah berlayar beberapa lama akhirnya mereka sampai di pulau Binuang Sati. Nan Tongga menyuruh kapal berlabuh di sana. Utusan Palimo Bajau, raja Pulau Binuang Sati, datang untuk mengusir Nan Tongga, namun ia menolak. Dalam pertempuran yang pecah kemudian Bujang Salamat berhasil membunuh Palimo Bajau. Pulau Binuang Sati pun takluk.
Nan Tongga menemukan salah seorang mamaknya, Nangkodoh Rajo, dikurung dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua mamak Nan Tongga lainnya, Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil meloloskan diri ketika pertempuran di laut dengan lanun anak buah Palimo Bajau. Ia juga memberitahukan bahwa burung nuri yang pandai berbicara ada di Kuala Koto Tanau.
Kemudian Nan Tongga menyuruh Malin Cik Ameh pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati, dan memberi pesan ke kampung halaman bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan. Ia sendiri berlayar dengan Dandang Panjang bersama Bujang Salamat ke Koto Tanau. Namun ketika bertemu Gondan Gondoriah ia terpesona pada kecantikan tunangan Nan Tongga itu. Ia lalu bercerita bahwa Nan Tongga ditawan oleh Palimo Bajau. Ia juga berkata Nan Tongga berpesan Malin Cik Ameh dijadikan pemimpin di kampungnya. Malin Cok Ameh lalu dirajakan di sana. Ia mengirim utusan untuk meminang Gondan Gondoriah namun ditolak dengan alasan masih berduka atas tertangkapnya Nan Tongga.
Sementara itu di Koto Tanau Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain menjadi raja di sana. Putri pamannya Puti Andami Sutan memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara. Nan Tongga lalu mencoba meminta burung tersebut. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga hanya dapat mendapatkan burung nuri ajaib tersebut dengan mengawini dirinya. Tak dapat menemukan cara lain Nan Tongga pun menikahi putri tersebut.
Burung nuri ajaib itu kemudian lepas dari sangkarnya dan terbang ke Tiku Pariaman. Di sana ia menemui Puti Gondan Gondoriah yang gundah mendengar tunangannya menikah dengan Andami Sutan.
Nan Tongga tidak dapat menahan rindunya pada kampung halaman dan tunangannya. Ia meninggalkan istrinya Andami Sutan yang sedamg hamil. Ketika Gondan Gondoriah mendengar kabar bahwa Anggun Nan Tongga sudah pulang ia lari ke Gunung Ledang. Anggun Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk pulang. Gondoriah akhirnya luluh hatinya dan kembali bersama Nan Tongga.
Ketika hendak menikah Nan Tongga dan Gondan Gondoriah bersama Bujang Selamat pergi mencari Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu. Namun Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan, karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.
Karena belum juga pulang orang tua Nan Tongga dan Gondan Gondoriah mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit.

Kaba Anggun Nan Tongga

Kaba Anggun Nan Tongga adalah sebuah cerita atau kaba yang populer di lingkungan masyarakat Minangkabau. Di daerah-daerah berbahasa Melayu cerita ini dikenal dengan nama Hikayat Anggun Cik Tunggal.
Kaba ini bercerita tentang petualangan dan kisah cinta antara Anggun Nan Tongga dan kekasihnya Gondan Gondoriah. Anggun Nan Tongga berlayar meninggalkan kampung halamannya di Kampung Dalam, Pariaman. Ia hendak mencari tiga orang pamannya yang lama tidak kembali dari merantau. Sewaktu hendak berangkat Gondan Gondoriah meminta agar Nan Tongga membawa pulang 120 buah benda dan hewan langka dan ajaib.
Meskipun pada awalnya dikisahkan secara lisan beberapa versi kaba ini sudah dicatat dan dibukukan. Salah satunya yang digubah Ambas Mahkota, diterbitkan pertama kali tahun 1960 di Bukittinggi.
[sunting] Ringkasan cerita
Di jorong Kampung Dalam, Pariaman hiduplah seorang pemuda bernama Anggun Nan Tongga, yang juga dipanggil Magek Jabang dan bergelar Magek Durahman. Ibunya Ganto Sani wafat tak lama setelah melahirkan Nan Tongga, sedangkan ayahnya pergi bertarak ke Gunung Ledang.Ia diasuh saudara perempuan ibunya yang bernama Suto Suri. Sejak kecil Nan Tongga sudah dijodohkan dengan Putri Gondan Gondoriah, anak mamaknya. Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi pemuda tampan dan cerdas. Ia mahir berkuda, silat, dan pandai mengaji Quran serta dalam ilmu agamanya.
Pada suatu hari terdengar kabar bahwa di Sungai Garinggiang Nangkodoh Baha membuka gelanggang untuk mencari suami bagi adiknya, Intan Korong. Nan Tongga minta izin pada Mandeh Suto Suri untuk ikut serta. Pada awalnya Mandeh Suto Suri tidak setuju, karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. namun akhirnya ia mengalah.
Di gelanggang Nan Tongga berhasil mengalahkan Nangkodo Baha pada tiap permainan: menyabung ayam, menembak maupun catur. Berang dan malu karena kekalahannya Nangkodoh Baha mengejek Nan Tongga karena membiarkan ketiga mamaknya ditawan bajak laut di pulau Binuang Sati. Mendengar kabar ini Nan Tongga pulang dengan hati sedih.
Nan Tongga bertekad untuk merantau mencari mamak-mamaknya: Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intan. Sebelum pergi ia minta izin pada Mandeh Suto Suri dan tunangannya Puti Gondan Gondoriah. Gondoriah meminta Nan Tongga membawakannya benda-benda dan hewan-hewan langka sebanyak 120 buah. Beberapa di antaranya adalah seekor burung nuri yang bisa berbicara, beruk yang pandai bermain kecapi, kain cindai yang 'tak basah oleh air, berjambul suto kuning, dikembang selebar alam, dilipat sebesar kuku, disimpan dalam telur burung'.
Nan Tongga berangkat berlayar dengan kapal bernama Dandang Panjang, ditemani pembantu setianya Bujang Salamat. Nakhodanya bernama Malin Cik Ameh. Setelah berlayar beberapa lama akhirnya mereka sampai di pulau Binuang Sati. Nan Tongga menyuruh kapal berlabuh di sana. Utusan Palimo Bajau, raja Pulau Binuang Sati, datang untuk mengusir Nan Tongga, namun ia menolak. Dalam pertempuran yang pecah kemudian Bujang Salamat berhasil membunuh Palimo Bajau. Pulau Binuang Sati pun takluk.
Nan Tongga menemukan salah seorang mamaknya, Nangkodoh Rajo, dikurung dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua mamak Nan Tongga lainnya, Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil meloloskan diri ketika pertempuran di laut dengan lanun anak buah Palimo Bajau. Ia juga memberitahukan bahwa burung nuri yang pandai berbicara ada di Kuala Koto Tanau.
Kemudian Nan Tongga menyuruh Malin Cik Ameh pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati, dan memberi pesan ke kampung halaman bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan. Ia sendiri berlayar dengan Dandang Panjang bersama Bujang Salamat ke Koto Tanau. Namun ketika bertemu Gondan Gondoriah ia terpesona pada kecantikan tunangan Nan Tongga itu. Ia lalu bercerita bahwa Nan Tongga ditawan oleh Palimo Bajau. Ia juga berkata Nan Tongga berpesan Malin Cik Ameh dijadikan pemimpin di kampungnya. Malin Cok Ameh lalu dirajakan di sana. Ia mengirim utusan untuk meminang Gondan Gondoriah namun ditolak dengan alasan masih berduka atas tertangkapnya Nan Tongga.
Sementara itu di Koto Tanau Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain menjadi raja di sana. Putri pamannya Puti Andami Sutan memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara. Nan Tongga lalu mencoba meminta burung tersebut. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga hanya dapat mendapatkan burung nuri ajaib tersebut dengan mengawini dirinya. Tak dapat menemukan cara lain Nan Tongga pun menikahi putri tersebut.
Burung nuri ajaib itu kemudian lepas dari sangkarnya dan terbang ke Tiku Pariaman. Di sana ia menemui Puti Gondan Gondoriah yang gundah mendengar tunangannya menikah dengan Andami Sutan.
Nan Tongga tidak dapat menahan rindunya pada kampung halaman dan tunangannya. Ia meninggalkan istrinya Andami Sutan yang sedamg hamil. Ketika Gondan Gondoriah mendengar kabar bahwa Anggun Nan Tongga sudah pulang ia lari ke Gunung Ledang. Anggun Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk pulang. Gondoriah akhirnya luluh hatinya dan kembali bersama Nan Tongga.
Ketika hendak menikah Nan Tongga dan Gondan Gondoriah bersama Bujang Selamat pergi mencari Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu. Namun Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan, karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.
Karena belum juga pulang orang tua Nan Tongga dan Gondan Gondoriah mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit.

Sabtu, 01 Januari 2011